*Kasus Pelecehan Verbal oleh Pejabat Kubu Mandek: Korban Tuntut Keadilan, Pengamat Hukum Nilai Ada Pengabaian Prosedural*

Berita, Daerah, Nasional26 Dilihat
banner 468x60

Berita Metropolitan Pontianak, Kalimantan Barat — 19 Juni 2025 Upaya pencarian keadilan seorang perempuan berinisial R, yang melaporkan dugaan pelecehan verbal oleh seorang pejabat publik di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat, justru berujung pada kekecewaan mendalam. R, yang juga istri dari pelapor resmi kasus tersebut, menyebut proses hukum yang berjalan “amburadul dan tidak berpihak pada korban”.

 

banner 336x280

Peristiwa dugaan pelecehan terjadi pada April 2025, dan dilaporkan ke Direktorat Kriminal Umum Polda Kalbar pada 3 Mei 2025. Namun hingga pertengahan Juni, tidak ada kejelasan penanganan dari pihak kepolisian. Lebih buruk lagi, menurut R, pada 23 Juni 2025, kasus tersebut secara sepihak dilimpahkan ke Polres Kubu Raya tanpa pemberitahuan atau konsultasi kepada korban.

 

Kami menuntut keadilan, bukan permainan pingpong antar institusi penegak hukum. Ini bukan hanya soal pelecehan, tapi soal rasa aman dan harga diri perempuan yang direndahkan secara verbal oleh pejabat publik,” kata R kepada awak media, Rabu (19/6).

 

R menilai perlakuan aparat terhadap laporannya mengindikasikan keberpihakan terhadap pelaku yang diketahui menjabat sebagai Sekretaris Camat (Sekcam) Kubu. Ia merasa diabaikan dan tidak dilibatkan dalam proses hukum sebagaimana seharusnya menurut prinsip perlindungan terhadap korban kekerasan.

 

Kekecewaan serupa juga disampaikan oleh sejumlah aktivis perempuan di Kalimantan Barat. Mereka menilai pelimpahan kasus secara diam-diam tanpa pelibatan korban adalah bentuk pengabaian terhadap hak-hak korban dalam sistem peradilan pidana.

 

Jika pelakunya bukan pejabat, mungkin prosesnya akan berbeda. Ini sinyal buruk bagi semua korban pelecehan verbal—bahwa kekuasaan bisa membungkam keadilan,” tegas R, yang kini tengah mempertimbangkan langkah hukum lanjutan.

 

Pihak keluarga korban berencana mengirim surat resmi kepada Kapolda Kalbar, Kompolnas, hingga Komnas Perempuan, guna mendesak pengawasan dan intervensi atas proses hukum yang dinilai tidak transparan dan tidak adil.

 

Redaksi media juga mengutip dari pengamat hukum : Menanggapi kasus ini, Dr. Bivitri Susanti, pengamat hukum tata negara dan dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, menilai ada indikasi pelanggaran prosedur dalam proses pelimpahan kasus yang dilakukan tanpa pemberitahuan kepada korban.

 

Dalam prinsip due process of law dan perlindungan korban kekerasan, aparat penegak hukum wajib memberi informasi kepada pelapor dalam setiap perkembangan perkara, termasuk saat terjadi pelimpahan kewenangan. Tanpa itu, prosesnya cacat secara hukum dan etik,” tegas Bivitri saat dimintai tanggapan, Kamis (19/6).

 

Ia juga menyoroti potensi penyalahgunaan jabatan yang dapat terjadi bila laporan terhadap pejabat publik tidak ditindak secara serius. Hal itu, menurutnya, dapat melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap aparat penegak hukum.

 

Jika laporan kekerasan atau pelecehan oleh pejabat diabaikan, maka ini bukan hanya soal kasus individu, tapi preseden buruk dalam perlindungan korban. Negara wajib hadir membela korban, bukan malah membungkamnya lewat prosedur yang membingungkan,” tambahnya.

 

Kini, publik menanti langkah tegas dari Kapolda Kalbar serta institusi pengawas lainnya untuk memastikan bahwa penegakan hukum tidak tunduk pada kekuasaan, serta memastikan korban memperoleh perlindungan yang adil dan bermartabat.

(Redaksi)

banner 336x280

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *