Pemerintah Segel Vila dan Tempat Wisata Ilegal, Notaris Didorong Lakukan Penemuan Hukum untuk Cegah Pelanggaran Tata Ruang di DAS Ciliwung

Pemerintah Segel Vila dan Tempat Wisata Ilegal, Notaris Didorong Lakukan Penemuan Hukum untuk Cegah Pelanggaran Tata Ruang di DAS Ciliwung

 

Bogor – Pemerintah bertindak tegas menyikapi bencana banjir besar yang melanda Jabodetabek pekan lalu dengan menyegel sejumlah vila dan tempat wisata di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung, tepatnya di wilayah Puncak, Kabupaten Bogor. Langkah ini diambil sebagai bagian dari upaya penyelamatan kawasan resapan air yang kian terancam akibat maraknya alih fungsi lahan yang melanggar tata ruang.

Empat vila—Vila Forest Hill, Seaford Afrika, Cemara, dan Vinus—disegel oleh Kementerian Kehutanan bersama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/BPN pada Minggu (9/3/2025). Seluruh bangunan tersebut diketahui berdiri di atas kawasan hutan produksi di Desa Tugu Utara, Kecamatan Cisarua. Selain itu, sebanyak 33 lokasi pembangunan termasuk wahana rekreasi di lahan PT Perkebunan Nusantara juga turut disegel akibat melanggar aturan tata ruang.

 

Langkah represif ini diambil setelah banjir merendam sejumlah wilayah di Bogor dan Bekasi pada Selasa (4/3/2025), dengan ketinggian air mencapai delapan meter di beberapa titik. Pemerintah menegaskan bahwa penyebab utama bencana adalah kerusakan lingkungan di kawasan hulu yang selama ini dijadikan lokasi pembangunan permukiman, tempat wisata, hingga vila secara ilegal.

 

Alih fungsi lahan di kawasan hulu DAS Ciliwung menjadi salah satu pemicu utama bencana hidrometeorologi di wilayah hilir. Sejak tahun 2010, sekitar 15.000 hektar lahan di kawasan hulu DAS ditetapkan sebagai kawasan lindung, taman nasional, kawasan hutan produksi, dan badan air. Namun pada 2022, sekitar 8.000 hektar di antaranya telah berubah menjadi kawasan pertanian. Ironisnya, area pertanian ini kini justru dibangun menjadi permukiman dan tempat wisata.

 

Kawasan Puncak yang seharusnya berfungsi sebagai daerah resapan air kini mengalami degradasi ekologis yang serius. Perubahan peruntukan ini dilakukan tanpa kajian ilmiah memadai dan melanggar regulasi tata ruang yang berlaku.

Peran Notaris/PPAT dalam Verifikasi Legalitas dan Tata Ruang

Pakar hukum pertanahan menyoroti pentingnya peran notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dalam mencegah pelanggaran tata ruang. Dalam setiap proses peralihan hak atas tanah, notaris dan PPAT wajib melakukan verifikasi menyeluruh terhadap legalitas tanah, termasuk pengecekan status lahan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).

 

Jika tanah berada di kawasan lindung, sempadan sungai, atau zona hijau, maka notaris wajib menolak pembuatan akta. Notaris juga diwajibkan mengecek keabsahan dokumen, memastikan tidak ada tumpang tindih kepemilikan, dan memverifikasi langsung ke instansi terkait seperti BPN, Dinas PUPR, dan Dinas Pertanian.

 

Tak cukup hanya melakukan pengecekan dokumen, notaris dan PPAT juga dituntut melakukan penemuan hukum (legal discovery) dalam setiap proses transaksi pertanahan. Penemuan hukum ini mencakup:

 

– Identifikasi potensi konflik antara dokumen yuridis dan kondisi faktual di lapangan, seperti tumpang tindih kepemilikan, klaim masyarakat adat, atau perbedaan penggunaan aktual dengan peruntukan tata ruang.

 

– Penafsiran terhadap norma tata ruang apabila terdapat ambiguitas dalam peta zonasi atau batas kawasan lindung.

 

– Penerapan asas kehati-hatian dalam memberikan keterangan hukum kepada para pihak, agar mereka memahami bahwa tidak semua lahan yang tersedia secara fisik layak untuk dipindahtangankan secara hukum.

 

– Pengumpulan data pendukung dari sumber sekunder seperti dokumen desa, SK Gubernur, atau peraturan daerah yang belum terintegrasi dengan sistem pertanahan nasional.

 

Penemuan hukum ini adalah bentuk due diligence hukum, dan menjadi kewajiban moral sekaligus profesional bagi setiap notaris dan PPAT demi menjamin kepastian hukum dan perlindungan lingkungan.

 

Selain menjalankan fungsi administratif, notaris dan PPAT memiliki tanggung jawab edukatif. Mereka diharapkan memberikan pemahaman kepada masyarakat dan pengembang tentang pentingnya mematuhi regulasi tata ruang. Notaris harus menjelaskan risiko hukum jika terjadi pelanggaran tata ruang, termasuk sanksi administratif, perdata, dan pidana.

 

Edukasi ini penting agar masyarakat tidak tergiur membeli tanah murah di kawasan lindung tanpa memahami konsekuensi hukumnya. Kesadaran hukum perlu dibangun dari proses transaksi awal.

 

Jika ditemukan adanya pelanggaran atau ketidaksesuaian data saat proses verifikasi, notaris dan PPAT tidak hanya berhak, tetapi juga wajib menolak pembuatan akta. Mereka juga bisa melaporkan indikasi pelanggaran kepada aparat penegak hukum atau lembaga terkait. Jika tetap membuat akta yang melanggar tata ruang, notaris bisa dikenakan sanksi berat, termasuk pidana. Penolakan harus disertai catatan resmi, sebagai bentuk tanggung jawab profesional yang diatur dalam Undang-Undang Jabatan Notaris (UUJN).

 

Jika peran notaris dan PPAT dalam verifikasi tidak berjalan optimal, maka alih fungsi lahan ilegal akan terus terjadi. Dampaknya mencakup bencana ekologis seperti banjir dan longsor, konflik agraria, serta ketidakpastian hukum di tengah masyarakat.

 

Kondisi seperti ini telah terbukti nyata di kawasan hulu DAS Ciliwung, di mana kerusakan lingkungan terjadi secara masif akibat pembangunan yang tidak terkendali dan lemahnya pengawasan administratif dari aktor-aktor hukum.

 

Para ahli menilai penegakan hukum tata ruang tidak dapat dilakukan secara sektoral. Diperlukan kolaborasi lintas instansi, mulai dari pemerintah daerah, BPN, Dinas Tata Ruang, hingga Ikatan Notaris Indonesia (INI) dan Ikatan PPAT (IPPAT) untuk menjamin profesionalisme dan integritas dalam proses pertanahan.

Keterlibatan masyarakat sipil dan media juga dinilai krusial dalam mengawasi potensi pelanggaran serta mendorong transparansi tata kelola lahan.

 

Langkah penyegelan yang diambil pemerintah menjadi momentum penting untuk mengevaluasi pengelolaan lahan di kawasan hulu DAS secara menyeluruh. Namun, tindakan represif tidak cukup. Pencegahan melalui penguatan peran notaris dan PPAT, serta kolaborasi antarlembaga, adalah kunci keberhasilan menjaga lingkungan dan mewujudkan tata ruang yang berkelanjutan.

 

Jika tidak ada perubahan dalam penegakan hukum dan kesadaran hukum masyarakat, maka bencana serupa tidak hanya akan terulang, tetapi bisa lebih parah di masa mendatang.

Oleh: Fatmawaty Dai dan Apriliani Dewi Susana

Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Pancasila

Redaksi