Berita Metropolitan, Karawang – Kasus pemecatan sejumlah tenaga honorer di Sekretariat Daerah (Setda) Kabupaten Karawang telah menarik perhatian banyak pihak. Banyak yang menilai tindakan tersebut sebagai bentuk kesewenang-wenangan yang dilakukan oleh pejabat daerah setempat. Pemecatan ini dianggap tidak adil, terutama karena para honorer yang dipecat tidak melakukan kesalahan besar seperti melanggar hukum atau terlibat dalam tindak kriminal. Mereka juga tidak tercatat pernah meninggalkan tugas dalam waktu lama.
Ketua Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Asep Agustian, yang lebih akrab disapa Askun, menyampaikan pendapatnya mengenai hal ini kepada media pada Jumat (10/1/2025). “Pemecatan ini sangat tidak manusiawi. Mereka telah mengabdi bertahun-tahun dan saat ini tengah menunggu untuk diangkat menjadi tenaga P3K atau pegawai paruh waktu,” ungkap Askun. Menurutnya, pemecatan secara lisan yang terjadi di Karawang ini sangat tidak pantas dan seharusnya dilakukan melalui surat resmi yang menyebutkan alasan pemecatan tersebut.
Askun menambahkan, saat tenaga honorer diangkat, mereka tentunya telah mendapatkan Surat Keputusan (SK) tertulis. Selain itu, data mereka sudah tercatat di Badan Kepegawaian Negara (BKN) dengan kategori honorer R3 dan R4. Oleh karena itu, pemecatan tanpa surat resmi dinilai tidak sah. “Kami mendesak Pemerintah Kabupaten Karawang untuk mempekerjakan mereka kembali. Pemecatan secara lisan jelas tidak sah,” tegasnya.
Senada dengan Askun, Direktur Ruang Politik, Wawan Wartawan, juga menyampaikan pendapat yang serupa. Wawan berpendapat bahwa pemecatan honorer yang sudah tercatat di BKN bertentangan dengan Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPAN-RB) Nomor 347 Tahun 2024 dan Nomor 634 Tahun 2024. Keputusan ini dibuat untuk memastikan agar Pemerintah Daerah tidak lagi merekrut tenaga honorer baru, mengingat banyak kepala daerah yang setelah Pilkada merekrut tim suksesnya menjadi tenaga honorer sebagai bentuk balas jasa.
Wawan menambahkan, honorer dengan kategori R3, yang telah terdaftar di BKN namun tidak lolos seleksi, masih diberi kesempatan untuk mengikuti seleksi kedua pada tahun ini. Jika mereka gagal lagi, mereka tetap akan diangkat menjadi tenaga P3K paruh waktu. Begitu pula dengan honorer kategori R4, yang belum terdaftar di BKN, masih memiliki kesempatan untuk mengikuti seleksi P3K dan diangkat menjadi pegawai paruh waktu.
“Karena itu, honorer tidak boleh dipecat begitu saja, apalagi digantikan oleh orang baru. Mereka sudah memiliki hak untuk diterima sebagai P3K atau pegawai paruh waktu,” jelas Wawan. Ia juga menerima informasi bahwa pemecatan terhadap honorer tidak hanya terjadi di lingkungan Setda Karawang, tetapi juga di sejumlah Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) lainnya. Pemecatan tersebut, menurutnya, juga sering dilakukan secara lisan.
Sementara itu, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Karawang, yang juga ikut memberikan perhatian terhadap masalah ini, mendesak agar Pemkab Karawang segera mengkaji ulang kebijakan pemecatan honorer tersebut. Mereka menilai kebijakan ini tidak hanya berpotensi menambah masalah bagi para honorer yang terdampak, tetapi juga berisiko menurunkan kinerja pemerintahan daerah.
Pemkab Karawang sendiri hingga saat ini belum memberikan tanggapan resmi terkait tuntutan untuk mempekerjakan kembali para honorer yang telah dipecat. Namun, sejumlah pihak berharap agar keputusan yang diambil mempertimbangkan segala aspek hukum dan kemanusiaan yang ada.
Pemberhentian tenaga honorer yang tidak sesuai prosedur ini menunjukkan pentingnya pemahaman tentang hak-hak pekerja, termasuk tenaga honorer yang telah lama mengabdi. Bagi mereka, pekerjaan sebagai honorer bukan hanya tentang penghasilan, tetapi juga tentang dedikasi dan harapan akan pengangkatan sebagai pegawai negeri yang lebih tetap.
Selain itu, sejumlah kalangan juga menyoroti pentingnya pengawasan lebih ketat terhadap kebijakan rekrutmen tenaga honorer di berbagai daerah. Beberapa waktu lalu, banyak pihak mengkritik praktek rekruitmen tenaga honorer yang sering dilakukan secara sepihak dan tidak sesuai aturan, terutama setelah Pilkada.
Para honorer yang terdampak berharap adanya penyelesaian yang adil dan transparan. Mereka meminta agar Pemkab Karawang tidak hanya mempertimbangkan aspek administratif, tetapi juga aspek moral dalam mengambil keputusan terkait pemecatan tersebut. Dengan demikian, diharapkan tidak ada lagi honorer yang menjadi korban kebijakan yang tidak memihak pada hak-hak mereka sebagai pekerja.
Sementara itu, beberapa advokat yang tergabung dalam asosiasi yang sama dengan Askun, terus memberikan pendampingan hukum kepada para honorer yang dipecat. Mereka juga mendorong agar Pemkab Karawang membuka ruang dialog dengan honorer yang terdampak untuk mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Para honorer di Karawang juga meminta agar pemerintah daerah memberikan kejelasan mengenai status mereka di masa depan. Mengingat, banyak di antara mereka yang sudah bekerja selama bertahun-tahun dengan harapan bisa menjadi bagian dari P3K atau pegawai negeri lainnya.
Dengan adanya tekanan dari berbagai pihak, Pemkab Karawang diharapkan dapat memberikan jawaban yang lebih memadai dan segera merespons tuntutan tersebut. Sehingga, kasus pemecatan honorer ini tidak menjadi bola panas yang dapat merusak citra pemerintahan daerah dan memperburuk hubungan antara pemerintah dengan masyarakat.
Kebijakan pemecatan honorer yang tidak sah ini dapat menjadi pelajaran bagi daerah lain dalam menjalankan rekrutmen dan pemberhentian tenaga honorer. Pemerintah daerah diharapkan lebih bijaksana dalam membuat keputusan yang berdampak langsung pada kehidupan banyak orang, terutama tenaga honorer yang telah berjuang di garis depan untuk mendukung kelancaran administrasi pemerintahan.
Redaksi