Peredaran Pil Koplo di Sekitar Stasiun Pasar Senen Diduga Dibiarkan, Muncul Dugaan “Koordinasi” dengan Oknum Aparat

Berita Metropolitan, Jakarta, 2 Mei 2025 — Aktivitas peredaran obat-obatan terlarang jenis pil koplo di sekitar Stasiun Pasar Senen, Jakarta Pusat, kembali menjadi sorotan publik. Sejumlah laporan warga dan investigasi lapangan mengindikasikan adanya pembiaran terhadap aktivitas tersebut, bahkan muncul dugaan adanya “koordinasi” antara para pelaku dengan oknum aparat keamanan setempat.

 

Menurut pantauan tim investigasi di lapangan, transaksi pil koplo kerap terjadi secara terbuka di area sekitar terminal bus dan jalur pedestrian yang ramai oleh pelintas dan calon penumpang. Beberapa pelaku yang diduga sebagai pengedar bahkan dikenal oleh pedagang dan warga sekitar, namun tidak pernah terlihat ditindak oleh pihak berwajib.

 

“Sudah sering kelihatan transaksi di sini. Orangnya itu-itu saja, kadang ada yang diambil tapi besoknya sudah balik lagi,” ujar Deni, seorang penjaga toko di kawasan Pasar Senen yang mengaku sudah lama mengamati aktivitas tersebut.

 

Yang lebih mengkhawatirkan, sejumlah narasumber menyebut bahwa para pelaku bisa bebas beroperasi karena telah “berkoordinasi” dengan oknum aparat, baik dari kepolisian maupun petugas keamanan lingkungan. Dugaan kuat menyebut nama Agus, seorang pria yang dikenal di kalangan pelaku sebagai pengurus lapangan (koordinator) yang mengatur “setoran” dan membagi wilayah operasi.

 

“Agus itu yang ngatur semuanya. Siapa yang boleh jualan, siapa yang setor ke mana, itu semua lewat dia,” ungkap sumber anonim yang merupakan warga setempat.

 

Peredaran pil koplo masuk dalam kategori pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang obat keras dan narkotika.

 

1. Pasal 196 dan 197 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan: Pasal 196: “Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.”

 

Pasal 197: mengatur sanksi pidana bagi pihak yang mengedarkan obat keras tanpa izin resmi.

 

2. Pasal 114 dan 132 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika: Pasal 114 ayat (1): “Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menawarkan untuk dijual, menjual, membeli, menerima, menjadi perantara dalam jual beli, menukar, atau menyerahkan Narkotika Golongan I…”

 

Pasal 132: menyangkut permufakatan atau keterlibatan dalam jaringan peredaran.

 

3. Untuk oknum aparat yang terlibat, dikenai: Pasal 5 dan Pasal 12 UU Tipikor (UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001) tentang gratifikasi dan penyalahgunaan jabatan.

 

Forum Ulama dan Aktivis (PB-FORMULA), melalui Ketua Umumnya, Tuan Guru Drs. Dedi Hermanto, menyuarakan kekhawatiran mendalam atas maraknya peredaran pil koplo yang disebut-sebut telah melibatkan jaringan terorganisasi hingga adanya peran “koordinator” di lapangan.

 

“Kami mendesak Kapolri dan jajaran segera turun langsung. Ini bukan hanya soal narkoba, tapi juga menyangkut kedaulatan moral bangsa. Jika benar ada koordinator seperti Agus yang memfasilitasi setoran ke oknum aparat, maka penegakan hukum harus menyentuh sampai ke akar,” tegas Tuan Guru Dedi dalam pernyataan pers resmi di Jakarta.

Redaksi